Masyarakat Adat Distrik Konda Tolak Perusahaan Sawit

Masyarakat adat di Distrik Konda, Kabupaten Sorong Selatan, Papua Barat Daya, secara tegas menolak kehadiran perusahaan kelapa sawit yang berencana membuka lahan di wilayah mereka. Penolakan ini disampaikan melalui sebuah pertemuan adat yang dihadiri oleh tokoh , kepala suku, pemuda, perempuan adat, dan perwakilan gereja.

Masyarakat Adat Khawatir Kehilangan Akses ke Hutan Adat

Dalam pertemuan tersebut, masyarakat menyatakan kekhawatirannya terhadap dampak lingkungan yang mungkin ditimbulkan oleh aktivitas perusahaan. Hutan adat yang selama ini menjadi sumber kehidupan, baik secara ekonomi maupun budaya, dikhawatirkan akan rusak akibat pembukaan lahan. Mereka mengandalkan hutan untuk berburu, mencari bahan pangan, dan ritual adat yang telah diwariskan secara turun-temurun.

Amos Kalami, salah satu tokoh adat, mengatakan, “Hutan bukan hanya tanah, tapi juga jiwa kami. Kalau hutan rusak, kami kehilangan segalanya.”

Tidak Ada Konsultasi, Perizinan Dinilai Sepihak

Masyarakat juga menyoroti proses perizinan yang dinilai tidak transparan dan tidak melibatkan warga lokal. Menurut mereka, hingga saat ini belum pernah ada sosialisasi atau konsultasi dari pihak perusahaan maupun pemerintah daerah. Padahal, sesuai prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC),  berhak mendapatkan informasi lengkap dan memberikan persetujuan sebelum proyek dilakukan.

Lembaga Adat dan Gereja Beri Dukungan

Dukungan terhadap penolakan ini juga datang dari lembaga adat, gereja, serta organisasi masyarakat sipil. Mereka menilai bahwa keberadaan perusahaan justru akan meningkatkan konflik lahan dan memperparah kerusakan ekologi.

Pastor Simon Yawom mengatakan, “Kami mendukung mempertahankan hak-haknya. Kita butuh pembangunan yang manusiawi dan berkelanjutan, bukan yang mengejar untung semata.”

Masyarakat Adat Desakan Evaluasi dari Pemerintah

Masyarakat kini mendesak Pemerintah Kabupaten Sorong Selatan untuk mencabut atau meninjau ulang izin perusahaan yang telah dikeluarkan. Mereka juga mengusulkan agar Distrik Konda ditetapkan sebagai kawasan perlindungan berbasis masyarakat adat.

“Kami tidak anti pembangunan, tapi kami menolak pembangunan yang menghancurkan kami,” ujar Maria Temong, tokoh perempuan adat.